Kawin Kontrak di Indonesia, Bolehkah?


ilustrasi
ilustrasi
SAHABAT SURGA.NET | JAKARTA - Praktik nikah mut’ah atau kawin kontrak kerap ditemui di Indonesia. Faktanya, perkawinan jenis ini dinilai tidak sah oleh hukum karena bertentangan dengan tujuan pernikahan.

Pernah dengar soal nikah mut’ah atau kawin kontrak? Meski diselenggarakan secara “agama”, hukum pernikahan ini adalah tidak sah. MUI bahkan telah mengeluarkan fatwa haram atas jenis pernikahan ini. Mengapa? Simak jawaban selengkapnya.

Pengertian Nikah Mut’ah

Apa yang dimaksud dengan nikah mut’ah? Al-Musawi mengartikan pengertian nikah mut’ah adalah perkawinan sementara atau perkawinan terputus, di mana seorang laki-laki melakukan perkawinan dengan seorang perempuan untuk waktu sehari, seminggu, atau sebulan. Sederhananya, secara terminologi, nikah mut’ah dapat diartikan sebagai nikah atau kawin kontrak.

Ada banyak alasan mengapa praktik nikah mut’ah dijalankan. Terkait hal tersebut, Sayyid Sabiq menerangkan bahwa tujuan dari nikah mut’ah adalah kenikmatan seksual semata, sehingga berbeda dari tujuan pernikahan biasa.

Jika secara umum tujuannya berbeda, bagaimana dengan cara nikah mut’ah? Penting untuk diketahui bahwa selayaknya rukun pernikahan Islam, dalam praktik nikah mut’ah ada ijab kabul. Bedanya, dalam ijab kabul tersebut, disampaikan periode pernikahan yang disepakati, bisa sekian minggu, bulan, atau tahun.

Selain itu, dalam proses ijab kabulnya, ada formula akad khusus yang wajib dibacakan. Formula akad bagi wanita yakni “zawwajtuka nafsi'' yang berarti ‘saya nikahkan diriku’. Kemudian, bagi pihak pria yakni “qabiltu al-tazwij” yang berarti ‘saya terima nikahnya’ sebagai tanda dirinya menerima wanita tersebut menjadi istrinya.

Sebagai penjelas, menurut Mardani, ciri-ciri dari nikah mut’ah adalah sebagai berikut.

Ijab kabul menggunakan kata-kata nikah atau dengan kata mut’ah.
Tanpa wali.
Tanpa saksi.
Ada ketentuan dibatasi waktu.
Tidak ada waris mewarisi antara suami istri.
Tidak ada talak.
Adakah praktik nikah ini di Indonesia? Ada. Praktik nikah mut’ah atau kawin kontrak di Indonesia sudah dikenal sejak lama. Salah satu lokasi yang kerap menjadi tempat mencari pengalaman nikah mut’ah atau praktik kawin kontrak di Indonesia ada di Puncak, Bogor.

Sejarah Nikah Mut’ah

Jika ditinjau dari aspek historis, sejarah nikah mut’ah telah lama ada. Kemunculannya ada di masa pra-Islam, di masa syariat Islam belum ditetapkan secara lengkap. Di masa itu, pernikahan ini diperbolehkan pada saat melakukan suatu perjalanan atau ketika sedang berperang.

Jurnal nikah mut’ah dalam versi pdf yang ditulis Marzuki menerangkan bahwa Imam Nawawi dalam kitabnya, Syarh Shahih Muslim, menyebutkan bahwa nikah mut’ah pernah diperbolehkan dan diharamkan sebanyak dua kali.

Pertama, diperbolehkan sebelum perang Khaibar dan diharamkan ketika masa perang Khaibar. Kedua, diperbolehkan selama tiga hari ketika fathu Makkah atau pembebasan Makkah dan diharamkan setelahnya untuk selama-lamanya sampai hari kiamat.

Mengapa diperbolehkan? Masa perang tersebut merupakan masa peralihan dari zaman jahiliyah. Sebagaimana masa peralihan, banyak hal yang masih memerlukan penyesuaian.

Sebelumnya, di zaman jahiliyah, wanita adalah objek yang diperlakukan selayaknya barang. Jarak medan perang yang jauh dari kediaman istri membuat para sahabat yang hendak berperang merasa berat. Oleh karenanya, aturan ini diturunkan sebagaimana bentuk keringanan atas kondisi tersebut.

Hukum Nikah Mut’ah

Bagaimana hukum kawin kontrak dari aspek hukum agama dan hukum negara? Jika meninjau hukum nikah mut’ah dalam Al-Qur’an, surah An-Nisa ayat 24 disebut-sebut sebagai dasar aturan perihal pernikahan ini. Akan tetapi, paham Syiah dan Sunni memiliki perbedaan pandangan yang besar dalam menafsirkan ayat tersebut.

Pertama, diperbolehkan sebelum perang Khaibar dan diharamkan ketika masa perang Khaibar. Kedua, diperbolehkan selama tiga hari ketika fathu Makkah atau pembebasan Makkah dan diharamkan setelahnya untuk selama-lamanya sampai hari kiamat.

Mengapa diperbolehkan? Masa perang tersebut merupakan masa peralihan dari zaman jahiliyah. Sebagaimana masa peralihan, banyak hal yang masih memerlukan penyesuaian.

Sebelumnya, di zaman jahiliyah, wanita adalah objek yang diperlakukan selayaknya barang. Jarak medan perang yang jauh dari kediaman istri membuat para sahabat yang hendak berperang merasa berat. Oleh karenanya, aturan ini diturunkan sebagaimana bentuk keringanan atas kondisi tersebut.(ahh)
POST TAGS: